Jakarta – M. Zaki Noor selaku kordinator ISMAHI mengatakan diskusi publik ini dilatar belakangi karena terjadinya proses pembahasan yang tergesa-gesa juga terlambatnya publikasi atas Naskah Akademik dan draft terbaru Rancangan Undang-undang Hukum Pidana.
Dr. Dena Widyawan Akademisi UNJ menekankan bahwa sistem penegakan hukum di Indonesia saat ini berlandaskan pada prinsip diferensiasi fungsional. Dalam struktur ini, setiap lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, memiliki otonomi serta kedudukan yang setara dalam menjalankan tugasnya masing-masing.
Ia juga mengangkat isu penerapan asas dominus litis yang terdapat dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), yang memberikan kewenangan mutlak kepada kejaksaan untuk memutuskan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan. Menurutnya, kebijakan ini dapat mengganggu tatanan penegakan hukum yang telah ada selama ini.
“Prinsip diferensiasi fungsional telah menjadi fondasi sistem hukum kita sejak pengesahan KUHAP pada tahun 1981, selama 44 tahun. Perubahan sepihak dapat merusak konsistensi dan keadilan dalam proses hukum,” tegasnya.
M. Zaky Noor, Koordinator ISMAHI, menambah bahwa penerapan asas dominus litis sama dengan memberikan wewenang penuh kepada kejaksaan dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Jika jaksa menguasai seluruh proses hukum, maka keseimbangan dalam penegakan hukum akan hilang.
Asas ini berpotensi menghambat prinsip check and balances dalam hukum pidana, mengingat wewenang yang terlalu besar diberikan kepada kejaksaan. “Dalam sistem peradilan pidana, kekuasaan yang diberikan seharusnya bersifat proporsional. Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antar lembaga penegak hukum,” ungkap Zaki.
Gilang Tri Buana, SH, seorang praktisi hukum, juga memberikan pandangannya mengenai RUU KUHAP yang tengah dibahas. Ia menyoroti bahwa asas Dominus Litis telah diperluas dalam konteks ini. Dalam Pasal 28 dan 30 RUU KUHAP, jaksa diberikan kewenangan untuk mengintervensi dan mengendalikan proses penyidikan. Misalnya, jaksa dapat meminta dilakukannya penyidikan, mengajukan permohonan penangkapan dan penahanan, bahkan memiliki hak untuk memutuskan penghentian penyidikan setelah mendapat persetujuan tertulis.
Gilang menekankan bahwa ketentuan ini memberikan posisi yang sangat kuat kepada kejaksaan dalam proses hukum pidana.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa pengaturan asas Dominus Litis dalam RUU KUHAP berpotensi menciptakan kewenangan absolut bagi kejaksaan, kewenangan absolut menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan yang dapat berisiko besar untuk disalahgunakan (The Abuse Of Power).
“Ini harus menjadi perhatian kita,” ujarnya.
Tinggalkan Balasan