Jakarta – Ketua Presidium Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia 1998 (JARI 98) Willy Prakarsa, mengkritik penggunaan istilah “premanisme” dalam kebijakan pemerintah yang dinilai bias dan berpotensi menyudutkan organisasi masyarakat (ormas).

Ia menekankan pentingnya kejelasan definisi istilah tersebut agar tidak menimbulkan generalisasi yang merugikan kelompok tertentu.

“Lebih baik jika tidak menggunakan istilah yang tendensius. Premanisme sendiri belum jelas definisinya secara hukum. Jangan sampai ormas langsung dicap sebagai preman hanya karena istilah ini dipakai secara serampangan, kata Willy dalam pernyataannya, dikutip hari ini.

Kekaburan Definisi “Premanisme”

Willy menyoroti bahwa negara belum memiliki batasan hukum yang tegas mengenai siapa atau apa yang dimaksud dengan “premanisme”. Hal ini berisiko menimbulkan penafsiran subjektif dan penyalahgunaan wewenang.

“Kalau terjadi tindakan kriminal, ya proses secara hukum. Tapi jangan sampai label ‘premanisme’ dipakai untuk menggeneralisir ormas tertentu. Ini bisa berbahaya karena berpotensi melanggar hak berserikat dan berpendapat,” tegasnya.

Fokus pada Tindakan Kriminal, Bukan Label

Menurut Willy, yang perlu diberantas adalah tindakan kriminal seperti pemerasan, pengancaman, atau kekerasan bukan sekadar melabeli suatu kelompok sebagai “preman”. Ia mengingatkan agar pemerintah tidak menggeser narasi seolah-olah ormas identik dengan premanisme.

“Jangan sampai kebijakan ini justru jadi alat untuk membungkus kepentingan politik tertentu. Yang jelas, hukum harus ditegakkan secara adil tanpa stigmatisasi,” ujarnya.

Selain itu, dia juga menyayangkan adanya desakan pembubaran ormas akibat label premanisme sehingga hal ini menjadi blunder dan kontroversial.

“Jangan menggeser narasi seolah-olah ormas 11-12 dengan aktivitas premanisme. Kalau aksi kriminal pemerasan ya benar ganggu iklim investasi. Tapi bukan digebyah uyah, itu seolah-olah tindakan ormas. Pemerintah harus perbaiki konsultan politik, hukum, ekonomi, dan budaya agar bisa memberikan masukan kebijakan yang tidak kontra produktif,” sebutnya.

“Sekali lagi jangan bantali atau kambing hitamkan ormas untuk tutupi isu ekonomi nasional,” kata dia lagi.

Willy menilai, dalam 6 bulan pemerintahan saat ini, belum ada progress signifikan di tengah kondisi ekonomi nasional yang kurang baik. Alih-alih membubarkan ormas dan memberantas premanisme, ia menyarankan Pemerintah seharusnya fokus pada rekonsiliasi nasional, penciptaan lapangan kerja, dan penyederhanaan rekrutmen karyawan.

“Kalau itu yang dilakukan, saya jamin 100% tidak akan ada aksi kriminalitas di Indonesia,” tegasnya.

Pembubaran Ormas Dinilai Langgar HAM dan Pancasila

Willy menegaskan bahwa kebijakan pembubaran ormas bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 karena negara menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul bagi setiap masyarakat Indonesia.

“Negara mana yang mau investasi di Indonesia kalau kondisi dalam negeri tidak stabil? Di balik kebijakan ini, saya curiga ada agenda untuk mencegah gejolak seperti Tragedi 1998 atau revolusi sosial,” ungkapnya.

Soroti Peran TNI-Polri dan Ketahanan Pangan

Willy juga menyayangkan penggunaan TNI dan Polri dalam program ketahanan pangan, yang seharusnya menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian. Menurutnya, hal ini menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjalankan tugas sesuai bidangnya.

*Usulan Solusi: Berantas Oligarki, Manfaatkan Dana Negara*

Willy mengusulkan agar pemerintah lebih baik memberantas oligarki kapital di lingkaran kekuasaan dan memanfaatkan dana dari sumber seperti DANATARA atau Kemenhan untuk menciptakan lapangan kerja.

“Jangan memanjakan parpol dengan anggaran tambahan. Elit politiklah yang seharusnya bertanggung jawab atas kondisi saat ini,” tegasnya.

Ia menekankan pentingnya rekonsiliasi nasional untuk menciptakan Indonesia yang aman dan nyaman, alih-alih mengeluarkan kebijakan yang berpotensi memicu keresahan.