Jakarta – Peneliti Center for Indonesia Economics (CIE), Muhammad Chaerul menilai narasi bahwa Indonesia mengalami “ekonomi tanpa ideologi” karena ketiadaan Undang-Undang Perekonomian Nasional (UUPN) adalah menyesatkan dan tidak melihat fakta-fakta kemajuan reformasi ekonomi nasional secara objektif.
Menurutnya, Pasal 33 UUD 1945 tidak pernah “dimatikan”, justru sedang diaktualisasikan melalui beragam program inklusif yang menyasar ekonomi kerakyatan, penguatan UMKM, redistribusi lahan lewat reforma agraria, hingga keberpihakan pada industri nasional strategis.
“Ketiadaan UUPN tidak otomatis berarti negara kehilangan arah ideologi ekonomi. Justru saat ini pemerintah terus memperkuat basis konstitusional dalam pembangunan ekonomi, melalui sinkronisasi UU sektoral yang relevan,” ujar Chaerul dalam keterangannya, Senin (22/7/2025).
Ia menilai, pemaksaan satu undang-undang tunggal sebagai jawaban semua persoalan ekonomi justru bertentangan dengan semangat desentralisasi, fleksibilitas kebijakan fiskal, dan kebutuhan investasi nasional.
Pasar dan Negara Harus Saling Menguatkan
Chaerul juga menegaskan bahwa dalam konteks global saat ini, membenturkan negara dengan pasar adalah pandangan lama yang tidak produktif. Indonesia tidak sedang menjadi pelayan korporasi asing, tetapi sedang menyusun keseimbangan baru antara keterbukaan ekonomi dan perlindungan nasional.
“Investasi asing bukan penjajahan. Selama dikelola transparan dan akuntabel, justru bisa mempercepat kemandirian ekonomi nasional,” tambahnya.
Menurut Chaerul, Indonesia kini justru menjadi rujukan global dalam menjaga sovereign economic interest tanpa harus menutup diri dari globalisasi. UU Cipta Kerja, pembangunan IKN, dan program hilirisasi industri adalah bukti bahwa negara hadir dan memimpin ekonomi.
Nasionalisasi: Jangan Jadi Komoditas Populisme
Terkait narasi nasionalisasi, CIE mengingatkan agar isu ini tidak dikomodifikasi sebagai alat politik populis yang kontraproduktif. Nasionalisasi bukan sekadar retorika ideologis, melainkan harus berdasarkan evaluasi kinerja, efisiensi, dan keberlanjutan ekonomi jangka panjang.
“Bukan soal berani atau tidak berani nasionalisasi, tapi soal manfaat riil bagi rakyat. Kita harus belajar dari kegagalan banyak negara berkembang yang nasionalisasinya justru menimbulkan korupsi dan stagnasi,” jelasnya.
Indonesia Tidak Krisis Ideologi, Justru Sedang Mengaktualisasi Pancasila
Chaerul menutup dengan menegaskan bahwa Pancasila tidak pernah ditinggalkan dalam perekonomian nasional. Pemerintah hari ini terus membumikan sila ke-5 melalui distribusi bansos, subsidi energi, pajak UMKM, dan pembangunan infrastruktur di wilayah tertinggal.
“Revolusi ekonomi bukan berarti membuat undang-undang baru, tapi bagaimana membumikan Pancasila secara adaptif dalam setiap kebijakan. Negara kita tidak kehilangan ideologi, kita justru sedang menguatkannya dalam tindakan nyata,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan